Lampung, Hukum – kriminal.com – Ribuan warga Lampung tumpah ruah ke jalan pada 1 September 2025 dalam aksi bertajuk “Lampung Melawan.” Namun berbeda dengan aksi-aksi serupa di berbagai daerah yang kerap berakhir ricuh, Lampung justru mencatat sejarah emas: ribuan massa bersatu menyuarakan aspirasi tanpa caci maki, tanpa kekerasan, dan tanpa kerusuhan.
Semboyan “Ayo Jaga Lampung Bersama” bukan lagi sekadar jargon kosong. Hari itu, Lampung menunjukkan wajah demokrasi yang matang: rakyat bicara, pemimpin mendengar.
Pemimpin Turun Menyambut Rakyat
Yang membuat aksi ini kian luar biasa, Gubernur Lampung bersama pimpinan DPRD, Kapolda, Pangdam, hingga tokoh agama dan masyarakat turun langsung menyambut peserta aksi. Tidak ada barikade kawat berduri, tidak ada pasukan antihuru-hara yang memajang tameng. Yang ada hanyalah ruang dialog terbuka.
Sikap ini dianggap publik sebagai gebrakan berani pemerintah daerah. Kritik tidak dipandang ancaman, melainkan modal legitimasi yang justru menguatkan kepemimpinan.
Massa Dewasa, Gerakan Bermartabat
Tak kalah mengejutkan, ribuan massa yang hadir tampil dengan kedewasaan penuh. Mereka membawa spanduk, orasi, dan doa, bukan batu atau bensin. Tuntutan disampaikan teratur, provokasi diabaikan, dan anarkisme ditolak.
“Ini bukan sekadar unjuk rasa, ini unjuk martabat,” ujar salah satu orator.
Aksi damai ini menjadikan Lampung sebagai role model gerakan sipil modern: kuat, bermoral, dan bersatu.
Lampung Jadi Cermin Indonesia
Di tengah banyaknya aksi di kota lain yang berujung bentrok dan bahkan jatuh korban, Lampung tampil kontras: damai, dewasa, dan elegan. Para pengamat menilai peristiwa ini sebagai blueprint baru demokrasi Indonesia.
“Lampung membuktikan, kekuatan bangsa bukan diukur dari seberapa keras aparat menekan rakyat, tetapi seberapa tulus pemimpin mau mendengar warganya,” kata Timbul Priyadi, praktisi hukum asal Lampung.
Dialog adalah Revolusi Baru
Aksi “Lampung Melawan” menegaskan bahwa revolusi tak harus lewat kekerasan. Dialog adalah senjata paling ampuh. Lampung telah memberi contoh: dengan saling percaya, empati, dan keterbukaan, setiap persoalan bisa diurai tanpa ada yang terluka.
Sejarah pun mencatat, 1 September 2025 adalah hari ketika Lampung mengajarkan Indonesia: demokrasi sejati bukan soal siapa yang paling keras, tetapi siapa yang paling mau mendengar.
Pewarta : Agil
Sumber : Timbul Priyadi
Praktisi Hukum dan pemerhati peradilan