Blora, Hukum-Kriminal.com – Kebijakan pengalihan tenaga pengabdian menjadi outsourcing namun tetap diperbolehkan mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di RSUD dr. R. Soetijono Blora memicu gelombang sorotan publik. Pasalnya, status outsourcing secara umum tidak diakui sebagai masa pengabdian untuk syarat pendaftaran PPPK. Dugaan pelanggaran regulasi pun menyeruak, Sabtu (13/9/2025).
Saat dikonfirmasi, Kepala BKPSDM Blora, Drs. Heru Eko Wiyono, M.Si., bersama Kabid Pengadaan Pegawai, Toha, justru menyampaikan pernyataan yang memperkuat keraguan publik.
“Toha menyebut, secara prinsip outsourcing memang tidak boleh dihitung sebagai masa pengabdian. Namun, hasil rapat kajian hukum bersama sejumlah pejabat memberi penafsiran berbeda. ‘Usulan saya tidak boleh, tapi dalam rapat hukum tidak tegas. Ada yang menafsirkan boleh, akhirnya Panselda memperbolehkan,’” ungkapnya.
Lebih mengejutkan lagi, Kabag Hukum Pemkab Blora serta Sekda Blora disebut ikut merestui kebijakan ini. “Kalau Pak Slamet Kabag Hukum menafsirkan boleh, ya akhirnya dijalankan,” tambah Toha.
Kepala BKPSDM Blora, Heru Eko, juga secara gamblang mengakui adanya perlakuan khusus. “Kalau outsourcing tidak boleh, ini beda di RSU. Di 2022 ada data mereka mengabdi, jadi unik. Harusnya dari rumah sakit itu dulu yang salah memperlakukan teman-teman. Mereka dapat perlakuan khusus karena ada demo di rumah sakit,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur RSUD dr. R. Soetijono Blora, dr. Puji Basuki, hanya memberikan jawaban normatif melalui WhatsApp. “Semestinya untuk menjawab harus duduk bersama dengan BKPSDM, tidak hanya BKPSDM saja atau RS saja. Semua sudah melalui konsultasi dan dirapatkan mas… dan sudah klir,” tulisnya singkat.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada rujukan aturan hukum yang jelas yang membolehkan tenaga outsourcing tetap bisa diakui dalam seleksi PPPK. Inkonsistensi pernyataan antara BKPSDM, Kabag Hukum, hingga pihak RSUD justru semakin menguatkan dugaan publik bahwa kebijakan ini rawan menabrak aturan.
Pertanyaan pun menggantung di ruang publik: benarkah ada dasar hukum yang memperbolehkan pengabdian yang berubah status jadi outsourcing diakui sebagai syarat PPPK, atau ini hanyalah kebijakan khusus penuh risiko yang bisa melukai rasa keadilan? (Agil)