Jakarta, Hukum.Kriminal.com – Di balik gemerlap proyek pemerintah bernilai miliaran rupiah, ada kisah getir subkontraktor yang sering kali terjerat dalam pusaran korupsi. Mereka berada di posisi serba sulit: mengerjakan proyek sesuai kontrak, tapi tak jarang justru ditarik masuk ke meja hijau sebagai pesakitan.
Fenomena ini semakin marak ketika penegak hukum menggunakan pasal “serba bisa” dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 7 UU Tipikor, misalnya, menjerat “setiap orang” yang dianggap merugikan keuangan negara. Alhasil, subkontraktor pun bisa ikut terseret, meski hanya menjalankan instruksi kontraktor utama.
Tak berhenti di sana. Jerat hukum lain mengancam melalui Pasal 5 (suap), Pasal 12B (gratifikasi), hingga Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Praktik pemberian “uang pelicin” untuk memperlancar pembayaran kerap dijadikan bukti keterlibatan, meski dalam banyak kasus subkontraktor sebenarnya hanya berusaha bertahan di tengah sistem yang carut-marut.
Batas Tipis: Pelaku atau Korban?
Di sinilah problem besar muncul. Subkontraktor sering kali tidak diperlakukan adil: disamakan dengan pelaku utama korupsi, padahal posisi mereka kerap sekadar “roda penggerak”.
Menurut Priyadi SH, MH, Founder Law Office LEGAL JUSTITIA & Co sekaligus Hakim Ad Hoc Tipikor tingkat banding (2014–2024), ada tiga pagar pelindung yang seharusnya melindungi subkontraktor:
1. Pelaksanaan sesuai kontrak – Mampu membuktikan pekerjaan berjalan sesuai spesifikasi tanpa rekayasa.
2. Transparansi – Tidak menyembunyikan dokumen dan kooperatif saat diaudit.
3. Tidak ada konflik kepentingan – Tidak memiliki hubungan finansial atau afiliasi dengan pengambil keputusan.
Sayangnya, pagar ini sering diabaikan, sehingga subkontraktor tetap diseret sebagai bagian dari persekongkolan.
Yurisprudensi: Harapan di Meja Hijau
Sejumlah putusan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan. Putusan No. 36/Pid.Sus/TPK/2014 misalnya, memberi hukuman lebih ringan kepada subkontraktor karena terbukti hanya “alat”, bukan otak kejahatan. Bahkan, putusan No. 22/KMA/SK/II/2011 membebaskan subkontraktor sama sekali karena tak ada bukti kuat keterlibatan.
Ini menegaskan pentingnya membedakan antara subkontraktor yang benar-benar ikut bersekongkol dengan mereka yang hanya menjadi korban sistem.
Kesimpulan: Keadilan yang Sering Absen
Jebakan korupsi dalam proyek pemerintah kerap menjadikan subkontraktor sebagai kambing hitam. Padahal, jika penegakan hukum cermat dan proporsional, banyak dari mereka justru berhak mendapatkan perlindungan, bukan hukuman.
Kini, pengadilan dituntut untuk lebih jeli membaca peran dan niat. Sebab keadilan sejati bukan hanya menghukum pelaku utama, tapi juga melindungi pihak yang tidak bersalah. (Agil)
Referensi:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3, 4, 5, 7, 12B.
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2015). Memahami untuk Membasmi: Buku Saku Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.
Marwan Effendy. (2010). Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya. Jakarta: Referensi.
Yudi Kristiana. (2017). Hukum Pidana Korupsi: Teori dan Praktik. Yogyakarta: UII Press.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (2021). Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Putusan Mahkamah Agung: 36/Pid.Sus/TPK/2014, 91/Pid.Sus/2011, 22/KMA/SK/II/2011.
Sumber : Priyadi SH.MH
• Founder & Managing Partners Law Office LEGAL JUSTITIA & Co’
• Hakim Ad Hoc Tipikor Tingkat Banding Periode 2014 – 2024.